Sabtu, 07 Desember 2013

Etika Menulis Di Internet



Etika Menulis Di Internet

             Dalam hal ini penulisan pada internet juga mempunyai etika-etika tersendiri.Penulisan di internet juga tidak bisa sesuka hati atau semau anda sendiri, melaikan harus dengan etika-etika yg sudah tercantum.
Di dunia maya aturan-aturan atau kaidah hukum bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Aturan tidak tertulis bisa berupa pernyataan sikap dari pembaca yang membaca informasi di blog, email, atau milis yang diwujudkan dalam bentuk komentar-komentar terhadap tulisan penulis, bila tulisan itu tidak berkenan atau bertentangan dengan nilai atau etika biasanya si penulis akan dihujat oleh pembaca melalui fasilitas komentar atau email balik bila melalui email atau milis. Sedangkan aturan tertulis bisa berupa peringatan yang ditulis oleh pembuat blog atau administrator milis agar tercipta komunikasi yang sehat, sopan, dan saling menghargai. Misal Tidak boleh menulis dengan menggunakan capslock, karena sama saja seperti memaki, tidak boleh menulis hal-hal yang berbau SARA, Pornografi dan sebagainya, dan bila tulisan adalah hasil karya orang lain harap dicantumkan nama penulis dan alamat URLnya.
Dibawah ini saya cantumkan berbagai macam etika dalam penulisan di internet 
yaitu :
1. Tidak mengandung unsur SARA
2. Tidak diperbolehkan menggunakan kata kasar atau menyinggung perasaan seseorang
3. Menggunakan kalimat sesuai EYD
4. Tulisan yang dibuat bukan hasil plagiat atau mencontek
5. Tulisan haruslah fakta bukan kebohongan
6. Menulis untuk memberikan informasi yang berguna bagi pembacanya
7. Tidak menulis sesuatu yang bersifat negatif dan menimbulkan provokasi

             Negara kita pun telah membuat peraturan yg di cantumkan pada UUD pada tahun 2008.Aturan itu adalah Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
Pada UU ITE perbuatan yang dilarang menyangkut isi tulisan tertuang pada BAB VII pasal 27 ayat satu sampai empat dan pasal 28 ayat satu dan dua.
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataumembuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataumembuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatanperjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataumembuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatanpenghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ataumembuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatanpemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Mengenai ketentuan pidananya tertuang pada BAB XI Pasal 45 ayat 1 dan 2
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari sedikit ulasan diatas,ada baiknya mulai sekarang kita lebih berhati-hati lagi dalam menulis tulisan di internet ,karena akan berdampak buruk pada diri kita sendiri bahkan akan membawa kita kedalam jalur hukum yang serius,mulai sekarang marilah kita berhati-hati dalam menulis diinternet.


Sumber :


http://seedqyandy.wordpress.com/2013/01/18/etika-menulis-di-internet/

Selasa, 07 Mei 2013

KONFLIK INDONESIA-MALAYSIA

            Konflik Indonesia-Malaysia (Sebuah Tinjauan Komunikasi Sosial Budaya)

       Hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, seolah seperti ditakdirkan untuk tidak pernah ”ketemu”, semenjak pasca 1965 hingga sekarang. Beragam peristiwa budaya acapkali memantik perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya dilahirkan dalam rahim yang sama tersebut: Melayu. Dalam era modern, Indonesia sempat digegerkan dengan klaim Negeri Jiran yang mengatakan batik adalah budaya asli Malaysia. Indonesia sempat dibuat kalang kabut dengan klaim tersebut. Atas klaim itu, Indonesia akhirnya melakukan berbagai upaya diplomatik internasional, sehingga hasil akhirnya Unesco (badan PBB yang mengurusi budaya) memutuskan bahwa batik adalah budaya asli Indonesia pada pertengahan 2010 lalu.

        Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia berkaitan dengan warisan budaya juga sempat memanas pada 2008. Khususnya saat Malaysia mencoba kembali mengklaim bahwa kesenian/budaya reog Ponorogo diklaim pemerintah Malaysia sebagai kesenian Malaysia. Tentu kita cukup masyghul, bagaimana mungkin, --sebagaimana ditulis Prof. Dr. Sam Abede Pareno dalam opini di Harian Jawa Pos (Edisi 4 Desember 2008), bahwa kesenian itu jelas-jelas ada embel-embel Ponorogo, yang merupakan salah satu wilayah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia, bisa-bisanya diklaim sebagai kesenian Malaysia.

        Jauh sebelumnya, persisnya kisaran tahun 2002-2003, Indonesia pernah bersinggungan juga dengan Malaysia. Tetapi, tidak berkaitan dengan budaya, melainkan tentang batas-batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Khususnya berkaitan dengan Pulau Sipidan dan Ligatan. Perselisihan hukum internasional mengenai batas-batas teritorial tersebut akhirnya dimenangkan Malaysia, saat kasus itu diputus oleh Mahkamah Internasional. Rangkaian peristiwa-peristiwa di atas cukup menggambarkan betapa hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia, sebenarnya sudah ramai sejak dulu. Persisnya dimulai pada saat Presiden Pertama RI Soekarno pada 1967 melakukan konfrontasi dengan Malaysia, dengan slogannya yang begitu amat masyhur, Ganyang Malaysia. Kenapa perseteruan kedua bangsa yang sebenarnya satu rumpun tersebut acapkali terjadi? Tulisan ini mencoba bermaksud untuk mengkajinya dalam perspektif Ilmu Komunikasi Sosial Budaya atau Komunikasi Lintas Budaya.

Perbedaan Persepsi
Dalam khazanah Ilmu Komunikasi dijelaskan, Komunikasi adalah proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan yang tidak saja dilakukan secara lisan dan tertulis, melainkan melalui bahasa tubuh, atau gaya atau tampilan pribadi, atau hal-hal lain di sekelilingnya yang memperjelas makna. Sedangkan Sosial Budaya ialah budi (moral dan wawasan) serta daya (perilaku dan kemampuan) masyarakat yang setiap masyarakat (komunitas) memiliki budi dan daya masing-masing. Sosial budaya ini dikenal sebagai suatu kebudayaan dan kebudayaan tecermin pada adat, bahasa, kebiasaan, norma yang berlaku dalam masyarakat (bangsa) tertentu.

Dengan demikian, komunikasi sosial budaya adalah komunikasi yang berlangsung di antara mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Komunikasi ini melintasi batas-batas kebudayaan suatu masyarakat, suku, ataupun bangsa. Karena itu, setiap kita yang melakukan komunikasi sosial budaya, harus memahami terlebih dahulu kebudayaan komunikator atau sebaliknya kebudayaan komunikan. Salah satu unsur menonjol dari kebudayaan yang harus dipahami ialah bahasa dan juga etika (sopan santun). 

        Sebuah bangunan komunikasi tak akan tercipta atau menjadi komunikasi yang efektif apabila terjadi hambatan (noice). Gangguan atau kendala yang acapkali terjadi dalam komunikasi sosial budaya kebanyakan berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. Sebab, sebagaimana hipotesis yang ada, kian besar derajat perbedaan antarbudaya suatu komponen komunikasi, akan semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. 

        Hipotesis tersebut sesuai dengan pendapat De Vito (1997, dalam Alo Liliweri 2009) yang menggolongkan tiga macam gangguan komunikasi. Yaitu, Pertama, fisik berupa intervensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat. Kedua, psikologis, berupa intervensi kognitif atau mental, misalnya prasangka dan bias pada sumber penerima pikiran yang sempit. Ketiga, Semantik, berupa pembicara dan pendengar memberi arti yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit yang tidak dipahami pendengar. Namun, dalam perspektif komunikasi sosial budaya, gangguan psikologis dan juga semantik lebih menonjol. Oleh karena itu, bila kita melakukan komunikasi sosial budaya, maka kita harus memahami psikologi dan semantik mitra komunikasi kita. 

        Dalam contoh kasus di atas, yaitu memanasnya hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia yang terus menegang dari tahun ke tahun, apabila diteliti lebih jauh, sebenarnya mulai menunjukkan betapa telah ada suatu gangguan komunikasi di antara kedua belah pihak. Perbedaan pemaknaan yang hingga pada akhirnya membuahkan gangguan atau bahkan konflik tersebut adalah berupa perbedaan bahasa, perbedaan persepsi, dan perbedaan simbolik. 

        Pada sisi perbedaan persepsi, terjadi ketidaksamaan pemahaman/anggapan di antara Indonesia dengan Malaysia, khususnya di dalam memahami identitas kesenian yang meskipun akarnya sama-sama dari Melayu. Dalam kasus konflik ini, sebagaimana dicontohkan oleh Prof. Dr. Sam Abede Pareno adalah kesenian reog Ponorogo. Bisa jadi, Malaysia melihat, --sehingga muncul klaim, bahwa kesenian reog Ponorogo dari sisi asal muasalnya, yakni Melayu. Sehingga, Malaysia merasa benar kalau kemudian akhirnya mengklaim kesenian reog Ponorogo adalah juga miliknya, karena Malaysia satu ras dengan Indonesia dalam rumpun bangsa Melayu.

        Di sisi lain, persepsi rakyat Indonesia juga berbeda. Indonesia menganggap kesenian reog Ponorogo adalah kesenian asli Indonesia, bukan dalam konteks serumpun akar bangsa Melayu. Sebab, dengan penyertaan nama Ponorogo dalam kesenian tersebut sudah menunjukkan lokalitas asal muasalnya, yaitu Jawa Timur, Indonesia. Sehingga Indonesia pun bersikukuh, klaim Malaysia tersebut justru menguburkan makna dan substansi dari Melayu itu sendiri. Perbedaan persepsi dalam memahami kesenian inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik diplomatik kedua negara. Bagaimana dengan perbedaan simbolik dan bahasa di antara kedua negara tersebut? Tampaknya tidak sampai menimbulkan gesekan. Sejauh ini, menurut penulis, yang dominan menimbulkan ketegangan lebih karena adanya perbedaan persepsi dalam memaknai akar kebudayaan atau kesenian, --dalam hal ini reog Ponorogo, batik, itu sendiri.

Pendekatan Dialog Kultural
Lantas, apa yang harus dilakukan kedua belah pihak, Indonesia dan Malaysia, agar ketegangan serupa tidak terulang di kemudian hari? Dalam perspektif Komunikasi Sosial Budaya, ada beragam pendekatan yang bisa dilakukan untuk membangun jembatan komunikasi lintas budaya kedua negara. Alo Liliweri (2009) mencantumkan beberapa pendekatan komunikasi antarbudaya. Yaitu, pendekatan psikologi sosial, pendekatan interpretatif, pendekatan kritis, pendekatan dialektikal, pendekatan dialog kultural, dan pendekatan kritik budaya.
Dari enam pendekatan ini, merujuk kasus klaim kesenian Indonesia dan Malaysia,
rupa-rupanya pendekatan dialog kultural yang paling pas. Pendekatan ini lebih sering disebut juga sebagai madzhab yang menekankan pada isu-isu internasionalisme dan humanisme. Kedua belah pihak perlu melakukan diskusi dan dialog bersama dengan berangkat dari persamaan akar budaya, yaitu Melayu. Kedua belah pihak perlu sama-sama memahami dan menyadari bahwa reog dan batik juga berkembang dengan pesat di kedua negara. 

        Karena itu, dalam konteks ini, penulis sepakat dengan apa yang dipaparkan Prof. Sam Abede Pareno bahwa biarlah reog, batik, serimpi, serapang dua belas dan lain-lain itu menjadi milik kita yang pernah atau tetap disebut ”Melayu”, sehingga di kemudian hari tidak ada ketegangan lagi. Biarlah pula wayang kulit dan wayang orang yang sudah berkembang di Malaysia, terutama di Johor Bahru tersebut, menjadi milik kita semua: rumpun bangsa Melayu. Sebab, klaim dan patenisasi bukan ranah kebudayaan, melainkan ranah politik. Dan yang terpenting adalah, sebagaimana disebutkan dalam pendekatan dialog kultural, kedua negara harus sama-sama berkomitmen memberikan kontribusi keilmuannya, budayanya, keseniannya untuk meningkatkan pemahaman tentang dunia.
Di luar pendekatan dialog kultural, untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara, pendekatan Teori Negosiasi Identitas yang dirumuskan Stella Ting-Toomey, juga bisa dijadikan sebagai rujukan.

        Menurut teori ini, identitas suatu bangsa, dalam kasus ini Indonesia dan Melayu, dinegoisasi saat berinteraksi dengan negara-negara lain, terutama dalam berbagai budayanya. Sebab, identitas selalu dihasilkan dari interaksi sosial. Identitas atau gambaran diri, dibentuk melalui proses negoisasi ketika suatu bangsa menyatakan, memodifikasi, atau menantang identifikasi diri sendiri atau orang lain. Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (salience). Value content ini dalam ranah praksisnya mempengaruhi anggotanya agar menilai komunitas atau kelompok, termasuk bangsa, lain. 

Oleh karena itu, untuk membentuk masyarakat ”Melayu” yang harmonis dan rukun di kemudian hari, diperlukan suatu bangunan komunikasi yang mampu menjadi sarana hubungan yang setara di antara berbagai bangsa. Menurut Stella Ting-Toomey, perlu dibangun sebuah komunikasi yang fokus pada identitas etnik dan kebudayaan, terutama negoisasi yang terjadi ketika berkomunikasi di dalam dan di antara kelompok-kelompok kebudayaan lainnya. 

        Identitas-identitas yang dibentuk dalam komunikasi tersebut juga harus dari berbagai latar kebudayaan. Individu etnis maupun antarbangsa, yang hidup dalam tatanan dunia multikultural harus mampu melakukan bikulturalisme fungsional (berganti dari satu konteks budaya ke budaya yang lainnya dengan sadar dan mudah). Jika hal itu dilakukan, maka kita mencapai keadaan pengubah kebudayaan (cultural transformer). Untuk mencapai derajat tersebut, pemimpin kedua negara (Indonesia dan Malaysia) harus mempunyai jiwa lintas budaya (intercultural competence), lintas etnis, dan agama yang terdiri atas tiga komponen. Yaitu, pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill).
Pengetahuan mencakup tentang pemahaman pentingnya identitas etnik, kebudayaan, agama dan bangsa. Kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Sedangkan kesadaran secara sederhana berarti menyadari pentingnya menghormati identitas etnik dan bangsa lain. Menyadari adanya penggunaan perspektif baru. Serta, kemampuan mengacu kepada kemampuan untuk menegoisasi identitas melalui observasi yang diteliti, menyimak, empati, kepekaan nonverbal, kesopanan, dan sebagainya. (*)

 

Kamis, 03 Januari 2013

TUGAS 4

 
Agama dan Masyarakat

1.  Agama 

     Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".[1]. Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya

Definisi
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Agama merupakan suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu:
·         menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
·         menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

Cara Beragama

Berdasarkan cara beragamanya:
1.     Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
2.     Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
3.     Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
4.     Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

Unsur-unsur

Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
  • Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
  • Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
  • Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama
  • Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
  • Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
Fungsi
  • Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
  • Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
  • Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah
  • Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan
  • Pedoman perasaan keyakinan
  • Pedoman keberadaan
  • Pengungkapan estetika (keindahan)
  • Pedoman rekreasi dan hiburan
  • Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.
2. Masyarakat

      Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.
Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat band, suku, chiefdom, dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

Kesimpulan
Agama sangatlah penting bagi masyarakat sebagai sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa sebagai pedoman hidup umat manusia.

sumber : wikipedia.org